Diskusi bulanan Fopersma Riau
“Peristiwa Cikeusik dan Bias Media”
LPM Bahana Mahasiswa, 15 Februari 2011
Oleh Aang Ananda Suherman dan Lovina
PERISTIWA MENIMPA AHMADIYAH CIKEUSIK, MINGGU 6 FEBRUARI 2011, JADI PERHATIAN DUNIA. Warga Ahmadiyah ini dipukul, dibacok, dilempari batu. Tiga Ahmadiyah tewas dan banyak yang terluka akibat serangan itu. Dari ragam data media, Lovina sebagai penanggungjawab diskusi merangkum Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten;
Minggu, 6 Februari 2011. Sekira pukul 10 pagi. Massa berjumlah 500 orang menyerang lokasi Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Terjadi adu lempar. Terjadi perlawanan. Korban berjatuhan dari pihak Ahmadiyah. Ada tiga orang yang tewas saat laporan ini dibuat. Sejumlah korban luka serius kini dievakuasi ke rumahsakit Serang.
Pagi sebelumnya Polisi membawa Parman, istrinya dan Tatep. Parman mubaligh Ahmadiyah kelahiran Cikesuik sementara Tatep ketua Pemuda Ahmadiyah Cikesuik. Polisi membawa mereka ke Polres Padeglang dengan alasan ingin meminta keterangan atas statu imigrasi istri Parman, warga Filiphina. Hingga kini ketiga warga Ahmadiyah tersebut masih berada di Polres Padeglang.
Warga Ahmadiyah Cikeusik diungsikan ke rumah keluarga Parman, satu jam dari lokasi. Warga Ahmadiyah berjumlah 25 orang, mayoritas orang tua dan anak-anak
Berdasarkan informasi ini, pemuda-pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang pergi menuju Cikeusik. Tujuannya, “melakukan pengamanan” terhadap warga Ahmadiyah yang masih menetap di Cikeusik. Mereka tiba sekira pukul 8 pagi keesokan harinya, 6 Februari. Mereka berjumlah 18 orang [plus 3 orang warga Cikeusik]. Mereka berjaga-jaga di rumah Parman.
Pada saat itu ada 6 petugas polisi dari reserse kriminal di lokasi. Sekira pukul 9 pagi, datang satu mobil pick-up polisi dan dua truk Dalmas [pengendali massa]. Mereka makan pagi bersama dan mengobrol. Ada dialog antara warga Ahmadiyah dan Polisi, Polisi minta mereka untuk segera meninggalkan lokasi dan tidak melakukan perlawanan jika ada serangan. Warga Ahmadiyah menolak, lalu perwakilan Polisi meninggalkan lokasi karena menerima telephone. Sejak saat itu tidak ada dialog kembali, warga Ahmadiyah berkumpul di dalam rumah.
Pada puku 10 pagi, massa dari arah utara mendatangi lokasi warga Ahmadiyah. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok.
“Ahmadiyah hanguskan!”
“Ahmadiyah bubarkan”
“Polisi minggir! Kami yang berkuasa di sini!”
Polisi di sekitar lokasi mendiamkan saja. Saat mereka mendekati halaman rumah Parman, wakil Ahmadiyah yang berjaga-jaga menenangkan. Namun massa makin beringas. Terjadi pemukulan. Melihat ada 21 Ahmadiyah yang bertahan keluar dari rumah, massa sempat mundur. Namun gelombang massa kian besar dari arah belakang. Serangan makin bersemangat. Serangan ini diperbesar kemudian dari arah selatan. Penyerang berjumlah 1500 orang.
Seorang saksi mata mengatakan: “Kita bertahan. Terjadi hujan batu. Mereka makin mendesak. Kita terpojok. Kita masuk ke sawah. Kita bubar. Kita dikejar. Dipukulin.”
Penyerangan berusaha mengejar anggota Ahmadiyah. Yang tertangkap di sawah-sawah ditelanjangi kemudian dipukuli secara brutal bersama-sama. Penyerang membawa senjata tajam : golok, pedang dan tombak. Batu-batu juga digunakan untuk memukul korban. Warga Ahmadiyah yang bisa melarikan diripun menerima banyak luka senjata tajam dan memar.
Penyerang terus memukuli warga Ahmadiyah yang tertangkap, ada empat orang. Satu orang kemuadian berhasil melarikan diri. Tiga warga Ahmadiyah tewas di lokasi penyerangan. Sebagian besar tubuh mereka penuh sayatan golok, wajah rusak, luka lebam. Nama-nama yang meninggal:
Roni, warga Jakarta Utara, umur 30an tahun.
Mulyadi, warga Cikeusik, umur 30an tahun.
Tarno, warga Cikeusik, umur 25 tahun.
Sementara yang luka berat berjumlah lima orang.
Ferdiaz, umur 30 tahun. Luka bacok di punggung. Betis kanan. Luka lebam di seluruh tubuh kecuali kepala (karena pakai helm). Dia berujar: “Saya dibacok golok. Digebukin pakai batu bata, batu koral. Punggung terasa remuk.”
Deden Sujana, umur 45 tahun. Luka bacok di pergelangan tangan kanan bagian luar. Kondisi nyaris terputus. Luka bacok di kaki, paha, tangan kiri. Kondisinya kini setengah sadar.
Pak Baby dari Jelambar, Jakarta Barat, umur 45 tahun. Matanya bengkak. Hidung keluar darah. Mulut keluar darah. Luka dalam.
Masrudin. Luka bacok di beberapa bagian tubuh. Wajah bengkak. Mata lebam. Mulut jontor. Dia ditelanjangi oleh massa di sawah lalu dipukuli.
Kini mereka dalam evakuasi perawatan di rumahsakit Serang.
“Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada keterlibatan polisi,” kata Lovina mengantar diskusi.
Lovina bertindak jadi moderator. Awalnya diskusi akan mulai pukul 14.00, tapi molor hingga dua jam. Peserta yang hadir; Puput Jumantirawan, Abdul Hamid Nasution, Rafiqi, dan Nur Fitri. Mereka dari Aklamasi UIR. Aang Ananda Suherman, Made Ali, Lovina, dan Erliana dari Bahana Mahaiswa UR. Gagasan dan Visi tak hadir.
Dalam outline bikinan Lovina, ada tiga bahasan. “Aku mau tahu apa komentar kawan-kawan tentang peristiwa Cikeusik?” Lovina buka sesi pertama.
Kuaci, crackers, pisang dan kopi jadi teman diskusi sore itu.
Hamid mengkritisi kelalaian polisi. “Kenapa waktu demo ke pemerintahan polisi ramai, dan waktu terjadi penyerangan terhadap Ahmadiyah hanya tiga orang polisi. Mereka cuma menghela-hela saja. Itu pun tidak berkekuatan.”
Puput membenarkan. “Polisi tidak siap siaga. Polisi sudah mengalami bias soal kebenaran. Mereka anggap Ahmadiyah musuh.” Soal keterlibatan polisi, Made beri komentar. “Polisi kan punya dua tugas utama, preventif dan represif. Ini tidak difungsikan dalam kasus ini,” kata Made. “Kesalahan polisi, kenapa orang Ahmadiyah tak diasingkan dari rumah itu, kenapa dibiarkan oleh polisi,” tambah Aang.
Dari sisi hukum, Rafiqi melihat hukum tidak tegas. Ia menilai ada kepentingan pihak asing untuk memecah belah Islam dalam hal ini. “Pemerintah pun berlebihan dalam melindungi Ahmadiyah,” katanya. “Kenapa selalu curiga denga pihak asing?”bantah Made.
Salah satu solusi yang ditawarkan Rafiqi, ”Ahmadiyah jangan lagi memakai nama Islam. Itu saja. Kalau mereka sudah mencopot nama Islam dan pakai nama baru, terserah mereka mau bagaimana.”
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri juga disinggung. “SKB ini jadi pemicu kekerasan terjadi, ditambah lagi beberapa ulama yang menyatakan Ahmadiyah sesat, ulama kan panutan, ini yang membuat kemarahan masyarakat. Pemerintah juga, seharusnya mengayomi warganya,” kata Aang. “Seharusnya dilakukan dulu penelitian, baru bisa memandang Ahmadiyah itu sesat atau tidak,” kata Puput.
Made lalu bertanya, “Beda Rasul dan Nabi apa?” Made melanjutkan, Rasul menerima wahyu, sedangkan Nabi tidak. Masalah ini yang jadi perdebatan. Dalam hal ini, ada aliran Ahmadiyah yang percaya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Setahu aku Nabi di Islam juga banyak. Kalau dia mengaku Rasul, bisa jadi dia sesat. Itu dugaanku, karena yang aku tahu nabi itu banyak.”
Penyerangan orang Ahmadiyah, kata Made, mengatasnamakan Islam yang mana. “NU itu Islam. Muhammadiyah Islam. Apa lagi? Banyak mazhab dalam Islam. Ada banyak cara kita berislam. Dalam perdebatan soal Ahmadiyah masing-masing aliran juga pecah. Nah mereka yang menyerang Ahmadiyah itu sekarang mengatas namakan Islam yang mana? Aku juga Islam. Aku tidak setuju dengan tindakan mereka. Jadi seakan-akan kita terikut dengan tindakan anarkis mereka kan?”
Hamid lalu jelaskan sejarah Ahmadiyah. “Yang saya baca Ahmadiyah itu ada dua. Ada aliran Qadian dan Lahore. Yang menyatakan Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi adalah aliran Qadian. Sedangkan yang Lahore tidak. Mereka hanya memandang Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai penuntun dan pembimbing. Jadi tidak bisa disamakan begitu saja.”
Hampir satu jam, diskusi beralih soal rekayasa pihak asing dalam kejadian ini. Aang menjelaskan media saja yang membesarkan soal intervensi asing. “Lihat saja saat Elaine Pearson, wakil direktur Divisi Asia Human Right Watch, meminta polisi Indonesia bikin investigasi terhadap kekerasan Ahmadiyah karena tak pernah ada pelaku dihukum. Ini mereka sebut intervensi asing.”
Lalu ditambahkan oleh Made. “Arif, si perekam peristiwa itu, awalnya memberikan rekaman itu ke Metro TV dengan tujuan supaya masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Ahmadiyah. Masyarakat luas jelas perlu tahu tentang peristiwa ini. Tapi Metro TV memberitakan sepotong-sepotong, tidak utuh. Si Arif juga tidak puas dengan kata-kata “bentrokan” yang digunakan Metro TV untuk menggambarkan peristiwa itu. Karena kecewa dengan media, Arif dan kawan-kawan menghubungi Andreas Harsono, aktivis Human Rights Watch. Tim HRW dari Australia memeriksa keakuratan video. Setelah terbukti kebenarannya, Andreas mengupload video ke akun you tube miliknya. Itu asal mula mengapa HRW terlibat. Jadi bukan karena intervensi pihak asing.”
Karena menyinggung soal pembahasan diskusi poin tiga, Lovina langsung mengarahkan ke pertanyaan ketiga; bagaimana media mainstream meliput peristiwa ini? Soal pemberitaan media mainstream, Lovina sempat menjelaskan pada sesi awal diskusi. “Ribut-ribut peristiwa Cikeusik juga jadi perhatian media. Bukannya memberitakan soal detail kejadian, beberapa media mainstream, seperti Metro TV dan TV One malah sibuk mencari tahu siapa perekam dan pengupload video Cikeusik. Mereka berspekulasi tanpa melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya.” Lovina mengutip kata-kata Andreas Harsono yang tertulis dalam blognya. “Dalam membuat diskusi, TV One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”
Made cerita pengalamannya soal keberpihakan media. “Dalam situs kompasiana.com berjudul Inilah Andreas Harsono, Pengupload Pertama Video Insiden Ahmadiah, ada komentar Khurniawan yang bilang ada intervensi pihak asing dalam kasus ini, bla bla bla... Masuk semua komentarnya. Tidak diedit, padahal dia tak ada saat kejadian, tapi sok tahu. Terus aku tes. Coba kasih komentar kritis tentang Ahmadiyah. Tidak masuk. Aku ada coba sampai lima kali, tidak masuk juga. Ah, parah ni Kompas. Berpihak sekali.”
Tak hanya Kompas, Aang juga cerita soal berita di harian Republika dalam situs republika.co.id berjudul Ahmadiyah Cikeusik: Biar Saja Kita Bentrok Pak, Biar Seru, Kan Asyik Pak! Di sini, Republika hanya mengambil sepotong-sepotong statement Deden Sudjana. Menurut Aang, sebelumnya Deden sudah panjang lebar diskusi dengan polisi, ia meminta polisi agar mencegah jika bentrok benar-benar terjadi. Karena melihat respon polisi, Deden jengkel, makanya keluar statement itu. “Tapi yang diambil hanya kata-kata provokatifnya. Seperti ‘Biar saja kita bentrok Pak, biar seru, kan asyik pak’.
Lalu Republika menerbitkan bahwa Deden duluan yang mendaratkan bogem mentah. “Republika tak verifikasi dulu secara akurat, langsung main terbitkan saja,” kata Aang. “Ya, seharusnya semua yang masuk ke dalam ruang redaksi, harus diverifikasi dulu ke lapangan. Itulah gunanya disiplin verifikasi dalam meliput. Seharusnya media melakukan verifikasi dulu sebelum memberitakan. Karena tidak ada verifikasi itu makanya muncul spekulasi seperti di TV One itu,” kata Made.
Jam menunjukan pukul 18.05. Lovina menutup diskusi. “Kesimpulannya tentu tindakan kekerasan dengan alasan apapun tidak dibenarkan dalam peristiwa Cikeusik ini. Soal media, selama ini media kurang melakukan verifikasi dalam pemberitaan Cikeusik. Padahal itu penting demi menyajikan berita yang akurat. Semua ini ada dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sembilan elemen itu harus kita terapkan dalam melakukan liputan,” tutup Lovina.
Outline Diskusi Bulanan Fopersma Riau
Penjab Lovina dari Bahana.
Peristiwa Cikeusik dan Bias Media
Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah Cikeusik seminggu belakangan, menjadi perhatian dunia. Warga Ahmadiyah ini dipukul, dibacok, dilempari batu. Tiga Ahmadiyah tewas dan banyak yang terluka akibat serangan itu.
Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi.
Polisi menyangkal keterlibatan mereka pada peristiwa itu. Menurut Hasan, Kanit Intel Polsek Cikeusik, mereka sudah coba mencegah peristiwa dengan berniat mengevakuasi para Ahmadi. Namun warga Ahmadiyah tidak mau. “Biar saja kita bentrok, biar seru. Kan asyik Pak,” kata Deden Sujana, anggota Ahmadiyah. Perbincangan ini terekam kamera video. Dalam rekaman itu juga terlihat Deden pertama kali memicu emosi massa.
Sementara itu, Kontras menilai polisi terlibat, dengan membiarkan aksi penyerangan oleh 1.500 orang terhadap 25 warga Ahmadiyah. “Kekuatan mereka besar, petugas yang hanya 120 orang tidak kuasa mengendalikan situasi,” dalih Kapolres Pandeglang.
Keterlibatan polisi dikuatkan oleh pernyataan Nurkholis, Direktur LBH Jakarta. “Ada empat level keterlibatan polisi; infliction (menciptakan penderitaan, penghukuman, pengalaman pahit bagi korban), instigation (mendorong, menganjurkan, menghasut), consent (memberi persetujuan), dan acquiescence (memberi persetujuan diam-diam).”
Dalam video yang direkam Arif, warga Ahmadiyah, terlihat para penyerang memakai pita biru dan hijau. Melihat itu, beberapa kalangan, seperti Kontras dan LBH menilai penyerangan ini by design. “Ini kejadian tidak muncul begitu saja, kejadian sudah terskenario,” kata Ray Rangkuti dari Badan Pekerja Lintas Agama.
Ribut-ribut peristiwa Cikeusik juga jadi perhatian media. Bukannya memberitakan soal detail kejadian, beberapa media mainstream, seperti Metro TV dan TV One malah sibuk mencari tahu siapa perekam dan pengupload video Cikeusik. Mereka berspekulasi tanpa melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya. “Dalam membuat diskusi, TV One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi,” kata Andreas Harsono.
Akibat bias media dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas, pengupload video mendapat cibiran masyakarat. Ia diancam akan dibunuh akibat mengupload video berdurasi 1.07 menit itu. Bahkan ada yang mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing.
Lantas;
Berikan komentar Anda tentang peristiwa Cikeusik?
Soal keterlibatan polisi dan rekayasa peristiwa?
Bagaimana media mainstream meliput peristiwa ini?
Pagi sebelumnya Polisi membawa Parman, istrinya dan Tatep. Parman mubaligh Ahmadiyah kelahiran Cikesuik sementara Tatep ketua Pemuda Ahmadiyah Cikesuik. Polisi membawa mereka ke Polres Padeglang dengan alasan ingin meminta keterangan atas statu imigrasi istri Parman, warga Filiphina. Hingga kini ketiga warga Ahmadiyah tersebut masih berada di Polres Padeglang.
Warga Ahmadiyah Cikeusik diungsikan ke rumah keluarga Parman, satu jam dari lokasi. Warga Ahmadiyah berjumlah 25 orang, mayoritas orang tua dan anak-anak
Berdasarkan informasi ini, pemuda-pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang pergi menuju Cikeusik. Tujuannya, “melakukan pengamanan” terhadap warga Ahmadiyah yang masih menetap di Cikeusik. Mereka tiba sekira pukul 8 pagi keesokan harinya, 6 Februari. Mereka berjumlah 18 orang [plus 3 orang warga Cikeusik]. Mereka berjaga-jaga di rumah Parman.
Pada saat itu ada 6 petugas polisi dari reserse kriminal di lokasi. Sekira pukul 9 pagi, datang satu mobil pick-up polisi dan dua truk Dalmas [pengendali massa]. Mereka makan pagi bersama dan mengobrol. Ada dialog antara warga Ahmadiyah dan Polisi, Polisi minta mereka untuk segera meninggalkan lokasi dan tidak melakukan perlawanan jika ada serangan. Warga Ahmadiyah menolak, lalu perwakilan Polisi meninggalkan lokasi karena menerima telephone. Sejak saat itu tidak ada dialog kembali, warga Ahmadiyah berkumpul di dalam rumah.
Pada puku 10 pagi, massa dari arah utara mendatangi lokasi warga Ahmadiyah. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok.
“Ahmadiyah hanguskan!”
“Ahmadiyah bubarkan”
“Polisi minggir! Kami yang berkuasa di sini!”
Polisi di sekitar lokasi mendiamkan saja. Saat mereka mendekati halaman rumah Parman, wakil Ahmadiyah yang berjaga-jaga menenangkan. Namun massa makin beringas. Terjadi pemukulan. Melihat ada 21 Ahmadiyah yang bertahan keluar dari rumah, massa sempat mundur. Namun gelombang massa kian besar dari arah belakang. Serangan makin bersemangat. Serangan ini diperbesar kemudian dari arah selatan. Penyerang berjumlah 1500 orang.
Seorang saksi mata mengatakan: “Kita bertahan. Terjadi hujan batu. Mereka makin mendesak. Kita terpojok. Kita masuk ke sawah. Kita bubar. Kita dikejar. Dipukulin.”
Penyerangan berusaha mengejar anggota Ahmadiyah. Yang tertangkap di sawah-sawah ditelanjangi kemudian dipukuli secara brutal bersama-sama. Penyerang membawa senjata tajam : golok, pedang dan tombak. Batu-batu juga digunakan untuk memukul korban. Warga Ahmadiyah yang bisa melarikan diripun menerima banyak luka senjata tajam dan memar.
Penyerang terus memukuli warga Ahmadiyah yang tertangkap, ada empat orang. Satu orang kemuadian berhasil melarikan diri. Tiga warga Ahmadiyah tewas di lokasi penyerangan. Sebagian besar tubuh mereka penuh sayatan golok, wajah rusak, luka lebam. Nama-nama yang meninggal:
Roni, warga Jakarta Utara, umur 30an tahun.
Mulyadi, warga Cikeusik, umur 30an tahun.
Tarno, warga Cikeusik, umur 25 tahun.
Sementara yang luka berat berjumlah lima orang.
Ferdiaz, umur 30 tahun. Luka bacok di punggung. Betis kanan. Luka lebam di seluruh tubuh kecuali kepala (karena pakai helm). Dia berujar: “Saya dibacok golok. Digebukin pakai batu bata, batu koral. Punggung terasa remuk.”
Deden Sujana, umur 45 tahun. Luka bacok di pergelangan tangan kanan bagian luar. Kondisi nyaris terputus. Luka bacok di kaki, paha, tangan kiri. Kondisinya kini setengah sadar.
Pak Baby dari Jelambar, Jakarta Barat, umur 45 tahun. Matanya bengkak. Hidung keluar darah. Mulut keluar darah. Luka dalam.
Masrudin. Luka bacok di beberapa bagian tubuh. Wajah bengkak. Mata lebam. Mulut jontor. Dia ditelanjangi oleh massa di sawah lalu dipukuli.
Kini mereka dalam evakuasi perawatan di rumahsakit Serang.
“Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada keterlibatan polisi,” kata Lovina mengantar diskusi.
Lovina bertindak jadi moderator. Awalnya diskusi akan mulai pukul 14.00, tapi molor hingga dua jam. Peserta yang hadir; Puput Jumantirawan, Abdul Hamid Nasution, Rafiqi, dan Nur Fitri. Mereka dari Aklamasi UIR. Aang Ananda Suherman, Made Ali, Lovina, dan Erliana dari Bahana Mahaiswa UR. Gagasan dan Visi tak hadir.
Dalam outline bikinan Lovina, ada tiga bahasan. “Aku mau tahu apa komentar kawan-kawan tentang peristiwa Cikeusik?” Lovina buka sesi pertama.
Kuaci, crackers, pisang dan kopi jadi teman diskusi sore itu.
Hamid mengkritisi kelalaian polisi. “Kenapa waktu demo ke pemerintahan polisi ramai, dan waktu terjadi penyerangan terhadap Ahmadiyah hanya tiga orang polisi. Mereka cuma menghela-hela saja. Itu pun tidak berkekuatan.”
Puput membenarkan. “Polisi tidak siap siaga. Polisi sudah mengalami bias soal kebenaran. Mereka anggap Ahmadiyah musuh.” Soal keterlibatan polisi, Made beri komentar. “Polisi kan punya dua tugas utama, preventif dan represif. Ini tidak difungsikan dalam kasus ini,” kata Made. “Kesalahan polisi, kenapa orang Ahmadiyah tak diasingkan dari rumah itu, kenapa dibiarkan oleh polisi,” tambah Aang.
Dari sisi hukum, Rafiqi melihat hukum tidak tegas. Ia menilai ada kepentingan pihak asing untuk memecah belah Islam dalam hal ini. “Pemerintah pun berlebihan dalam melindungi Ahmadiyah,” katanya. “Kenapa selalu curiga denga pihak asing?”bantah Made.
Salah satu solusi yang ditawarkan Rafiqi, ”Ahmadiyah jangan lagi memakai nama Islam. Itu saja. Kalau mereka sudah mencopot nama Islam dan pakai nama baru, terserah mereka mau bagaimana.”
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri juga disinggung. “SKB ini jadi pemicu kekerasan terjadi, ditambah lagi beberapa ulama yang menyatakan Ahmadiyah sesat, ulama kan panutan, ini yang membuat kemarahan masyarakat. Pemerintah juga, seharusnya mengayomi warganya,” kata Aang. “Seharusnya dilakukan dulu penelitian, baru bisa memandang Ahmadiyah itu sesat atau tidak,” kata Puput.
Made lalu bertanya, “Beda Rasul dan Nabi apa?” Made melanjutkan, Rasul menerima wahyu, sedangkan Nabi tidak. Masalah ini yang jadi perdebatan. Dalam hal ini, ada aliran Ahmadiyah yang percaya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Setahu aku Nabi di Islam juga banyak. Kalau dia mengaku Rasul, bisa jadi dia sesat. Itu dugaanku, karena yang aku tahu nabi itu banyak.”
Penyerangan orang Ahmadiyah, kata Made, mengatasnamakan Islam yang mana. “NU itu Islam. Muhammadiyah Islam. Apa lagi? Banyak mazhab dalam Islam. Ada banyak cara kita berislam. Dalam perdebatan soal Ahmadiyah masing-masing aliran juga pecah. Nah mereka yang menyerang Ahmadiyah itu sekarang mengatas namakan Islam yang mana? Aku juga Islam. Aku tidak setuju dengan tindakan mereka. Jadi seakan-akan kita terikut dengan tindakan anarkis mereka kan?”
Hamid lalu jelaskan sejarah Ahmadiyah. “Yang saya baca Ahmadiyah itu ada dua. Ada aliran Qadian dan Lahore. Yang menyatakan Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi adalah aliran Qadian. Sedangkan yang Lahore tidak. Mereka hanya memandang Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai penuntun dan pembimbing. Jadi tidak bisa disamakan begitu saja.”
Hampir satu jam, diskusi beralih soal rekayasa pihak asing dalam kejadian ini. Aang menjelaskan media saja yang membesarkan soal intervensi asing. “Lihat saja saat Elaine Pearson, wakil direktur Divisi Asia Human Right Watch, meminta polisi Indonesia bikin investigasi terhadap kekerasan Ahmadiyah karena tak pernah ada pelaku dihukum. Ini mereka sebut intervensi asing.”
Lalu ditambahkan oleh Made. “Arif, si perekam peristiwa itu, awalnya memberikan rekaman itu ke Metro TV dengan tujuan supaya masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Ahmadiyah. Masyarakat luas jelas perlu tahu tentang peristiwa ini. Tapi Metro TV memberitakan sepotong-sepotong, tidak utuh. Si Arif juga tidak puas dengan kata-kata “bentrokan” yang digunakan Metro TV untuk menggambarkan peristiwa itu. Karena kecewa dengan media, Arif dan kawan-kawan menghubungi Andreas Harsono, aktivis Human Rights Watch. Tim HRW dari Australia memeriksa keakuratan video. Setelah terbukti kebenarannya, Andreas mengupload video ke akun you tube miliknya. Itu asal mula mengapa HRW terlibat. Jadi bukan karena intervensi pihak asing.”
Karena menyinggung soal pembahasan diskusi poin tiga, Lovina langsung mengarahkan ke pertanyaan ketiga; bagaimana media mainstream meliput peristiwa ini? Soal pemberitaan media mainstream, Lovina sempat menjelaskan pada sesi awal diskusi. “Ribut-ribut peristiwa Cikeusik juga jadi perhatian media. Bukannya memberitakan soal detail kejadian, beberapa media mainstream, seperti Metro TV dan TV One malah sibuk mencari tahu siapa perekam dan pengupload video Cikeusik. Mereka berspekulasi tanpa melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya.” Lovina mengutip kata-kata Andreas Harsono yang tertulis dalam blognya. “Dalam membuat diskusi, TV One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”
Made cerita pengalamannya soal keberpihakan media. “Dalam situs kompasiana.com berjudul Inilah Andreas Harsono, Pengupload Pertama Video Insiden Ahmadiah, ada komentar Khurniawan yang bilang ada intervensi pihak asing dalam kasus ini, bla bla bla... Masuk semua komentarnya. Tidak diedit, padahal dia tak ada saat kejadian, tapi sok tahu. Terus aku tes. Coba kasih komentar kritis tentang Ahmadiyah. Tidak masuk. Aku ada coba sampai lima kali, tidak masuk juga. Ah, parah ni Kompas. Berpihak sekali.”
Tak hanya Kompas, Aang juga cerita soal berita di harian Republika dalam situs republika.co.id berjudul Ahmadiyah Cikeusik: Biar Saja Kita Bentrok Pak, Biar Seru, Kan Asyik Pak! Di sini, Republika hanya mengambil sepotong-sepotong statement Deden Sudjana. Menurut Aang, sebelumnya Deden sudah panjang lebar diskusi dengan polisi, ia meminta polisi agar mencegah jika bentrok benar-benar terjadi. Karena melihat respon polisi, Deden jengkel, makanya keluar statement itu. “Tapi yang diambil hanya kata-kata provokatifnya. Seperti ‘Biar saja kita bentrok Pak, biar seru, kan asyik pak’.
Lalu Republika menerbitkan bahwa Deden duluan yang mendaratkan bogem mentah. “Republika tak verifikasi dulu secara akurat, langsung main terbitkan saja,” kata Aang. “Ya, seharusnya semua yang masuk ke dalam ruang redaksi, harus diverifikasi dulu ke lapangan. Itulah gunanya disiplin verifikasi dalam meliput. Seharusnya media melakukan verifikasi dulu sebelum memberitakan. Karena tidak ada verifikasi itu makanya muncul spekulasi seperti di TV One itu,” kata Made.
Jam menunjukan pukul 18.05. Lovina menutup diskusi. “Kesimpulannya tentu tindakan kekerasan dengan alasan apapun tidak dibenarkan dalam peristiwa Cikeusik ini. Soal media, selama ini media kurang melakukan verifikasi dalam pemberitaan Cikeusik. Padahal itu penting demi menyajikan berita yang akurat. Semua ini ada dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sembilan elemen itu harus kita terapkan dalam melakukan liputan,” tutup Lovina.
Outline Diskusi Bulanan Fopersma Riau
Penjab Lovina dari Bahana.
Peristiwa Cikeusik dan Bias Media
Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah Cikeusik seminggu belakangan, menjadi perhatian dunia. Warga Ahmadiyah ini dipukul, dibacok, dilempari batu. Tiga Ahmadiyah tewas dan banyak yang terluka akibat serangan itu.
Ada dua versi kronologis penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Satu dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), satunya lagi versi polisi.
Polisi menyangkal keterlibatan mereka pada peristiwa itu. Menurut Hasan, Kanit Intel Polsek Cikeusik, mereka sudah coba mencegah peristiwa dengan berniat mengevakuasi para Ahmadi. Namun warga Ahmadiyah tidak mau. “Biar saja kita bentrok, biar seru. Kan asyik Pak,” kata Deden Sujana, anggota Ahmadiyah. Perbincangan ini terekam kamera video. Dalam rekaman itu juga terlihat Deden pertama kali memicu emosi massa.
Sementara itu, Kontras menilai polisi terlibat, dengan membiarkan aksi penyerangan oleh 1.500 orang terhadap 25 warga Ahmadiyah. “Kekuatan mereka besar, petugas yang hanya 120 orang tidak kuasa mengendalikan situasi,” dalih Kapolres Pandeglang.
Keterlibatan polisi dikuatkan oleh pernyataan Nurkholis, Direktur LBH Jakarta. “Ada empat level keterlibatan polisi; infliction (menciptakan penderitaan, penghukuman, pengalaman pahit bagi korban), instigation (mendorong, menganjurkan, menghasut), consent (memberi persetujuan), dan acquiescence (memberi persetujuan diam-diam).”
Dalam video yang direkam Arif, warga Ahmadiyah, terlihat para penyerang memakai pita biru dan hijau. Melihat itu, beberapa kalangan, seperti Kontras dan LBH menilai penyerangan ini by design. “Ini kejadian tidak muncul begitu saja, kejadian sudah terskenario,” kata Ray Rangkuti dari Badan Pekerja Lintas Agama.
Ribut-ribut peristiwa Cikeusik juga jadi perhatian media. Bukannya memberitakan soal detail kejadian, beberapa media mainstream, seperti Metro TV dan TV One malah sibuk mencari tahu siapa perekam dan pengupload video Cikeusik. Mereka berspekulasi tanpa melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya. “Dalam membuat diskusi, TV One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi,” kata Andreas Harsono.
Akibat bias media dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas, pengupload video mendapat cibiran masyakarat. Ia diancam akan dibunuh akibat mengupload video berdurasi 1.07 menit itu. Bahkan ada yang mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing.
Lantas;
Berikan komentar Anda tentang peristiwa Cikeusik?
Soal keterlibatan polisi dan rekayasa peristiwa?
Bagaimana media mainstream meliput peristiwa ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar