Oleh Aang Ananda Suherman
Serius saat rapat berlansung. Cita-cita kami hanya ingin melihat jurnalisme bermutu di bumi Riau. |
Agenda utamanya, bikin roadmap Fopersma Riau 2011. Sebelum pembahasan roadmap, kegiatan diisi dengan dua diskusi. Hadir sekitar 40 aktivis pers mahasiswa, anggota Fopersma Riau, dari empat LPM di Riau; Visi dari Universitas Lancang Kuning (Unilak). Aklamasi, Universitas Islam Riau (UIR). Bahana, Universitas Riau (Unri) dan Gagasan dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska).
Pertemuan sehari semalam itu menghasilkan empat poin deklarasi Fopersma Riau. Peratama, menolak amplop beserta isinya dalam bentuk apapun. Kedua, menuntaskan agenda reformasi. Ketiga, menegakkan demokrasi. Keempat, mewujudkan insan pers sesungguhnya. Resti (Visi), sebagai deklarator.
JARUM jam dinding tunjuk angka 09.30. Ruang rapat sekre Bahana sudah rame. Sekitar 30 anggota Fopersma telah hadir. Lainnya masih di perjalanan menuju Bahana. Tepat pukul 10.00, rapat akan dimulai.
Diskusi pagi itu, bertajuk Mendambakan Pers Kritis di Riau. Diskusi ini akan mengupas sejarah pers di Riau. Satu pertanyaan, apakah pernah ada pers kritis di Riau? Materi ini akan disampaikan Moeslim Roesli, tokoh pers di Riau.
Moeslim juga menulis buku MENEROBOS MITOS, Seabad Pers Riau (dari Raja Ali Kelana sampai Reformasi). Sayang, karena kesehatan, ia tak dapat hadir. “Maaf ya, saya harus berobat ke rumah sakit pagi ini,” kata Moeslim Roesli, lewat pesan singkatnya pada Aang Ananda Suherman (Bahana), koordinator Fopersma Riau.
Selain sejarah, kekritisan media lokal Riau hari ini menarik dikuliti. Fopersma mengundang Ilham Yasir, Ketua Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru.
Pukul 10.00 Ilham datang. Acara mulai pukul 10.05. Molor lima menit. Diskusi dipandu Aang. Ia mengulas sedikit sejarah pers di Riau. Dalam catatan moderator, mulai terbitnya Al Imam tahun 1906, hingga kini tak ada pers di Riau yang benar-benar kritis.
Pernah lahir Tabloid OBOR, Moeslim Roesli juga wartawannya saat itu. Menurut Moeslim beberapa waktu lalu, OBOR termasuk pers berani dan kritis di Riau. Namun atas tekanan TNI saat itu, OBOR juga memperbolehkan penguasa menyensor karya yang layak terbit atau tidak. “Apakah ini pers kritis,” kata Aang. “Jadi mungkinkah lahir pers kritis di Riau?” Aang mengakhiri pengantar sebelum Ilham menyampaikan materi.
“Saya mungkin tak banyak menyinggung soal sejarah pers di Riau, tapi lebih kepada kenapa pers di Riau hari ini tak ada yang kritis,” kata Ilham. Menurut Ilham, penyebabnya adalah konglomerasi media yang menjadi-jadi.
Jadi, kata Ilham, konglomerasi media sudah mengancam pilar keempat penengak demokrasi—pers—hari ini. Besarnya pengaruh, bahkan intervensi perusahaan terhadap redaksi terlalu kuat, kata Ilham. Ini menjadikan media bukan lagi berpihak pada kepentingan rakyat; mengungkap fakta sesungguhnya, sehingga rakyat bisa menentukan sikapnya dengan benar.
Pers di Riau, kata Ilham, akan kritis pada persoalan olahraga, hiburan dan ekonomi. “Pada ekonomipun bisa kritis, saat tak ada hubungan dengan intervensi politik.” Lihat perubahan grup Jawa Pos, termasuk Riau Pos, saat dahlan Iskan jadi Direktur Utama (Dirut) PLN, “Pasti akan melunak terhadap PLN.”
Persoalan dasarnya, kata Ilham, kenapa tak ada pers kritis di Riau, tak ada pendiri media di Riau yang lepas dari intervensi politik. “Tapi percayalah, secara individu kita masih bisa kritis. Masih ada ruang untuk melakukan itu.”
Jam menunjukan pukul 11.00. Acara berlanjut kesesi dialog. Sebelas anggota Fopersma bertanya berbagai macam hal. Mulai dari realita di lapangan kehidupan wartawan, sampai pada solusi konkrit terhadap tak adanya pers kritis di Riau.
“Jadi gimana ya, kita yang mengusung semangat idealis dari pers kampus, saat di luar dihadapkan pada kondisi pers begini, jadi kapan Riau punya media yang benar-benar kritis?”. Dalam diskusi itu, apa yang semua dambakan, tak ada yang bisa menjamin kapan bisa hadirnya pers kritis di Riau.
Satu jam berdialog. Diskusi usai. Kegiatan rehat satu setengah jam untuk istirahat, sholat dan makan siang.
Pukul 13.30, acara kembali digelar. Kali ini diskusi kedua bertajuk Visi ABG dulu, Fopersma Kini. Sekedar melihat bagaimana perjuangan aktivis pers mahasiswa di Riau dulu. Gimana mereka berjuang dengan segala kesulitan; mulai pengkaderan, tekanan penguasa, sampai soal dana. Hasil diskusi ini diharapkan bisa jadi motivasi pengurus LPM sekrang untuk tetap mempertahankan budaya krtis masing-masing LPM.
Sebelum diskusi dimulai, Ari Gunawan, sebagai moderator sampaikan soal berubahnya Visi ABG jadi Fopersma Riau. Visi ABG adalah perhimpunan, atau tempat empat LPM; Visi, Aklamasi, Bahana dan Gagasan, saling kritik soal kualitas terbitan, menyatukan ide dan gerakan. Pastinya, ini forum bersama; sakit satu, sakit semua. Tahun 2006 Visi ABG berubah jadi Fopersma. Alasannya sederhana, tak boleh arogan. Nantinya, pers mahasiswa akan lahir di Riau selain empat LPM ini. Digantilah namanya Fopersma Riau.
Diskusi siang itu menghadirkan mantan pengurus pengurus masing-masing LPM. Ada Zulmizan FA Assagaf, mantan Pimpinan Umum Bahana. Zainul Ikhwan, mantan Pimpinan Aklamasi. Navolino, mantan pengurus Aklamasi. Noprizal, mantan pengurus Gagasan. Dan Marlina, mantan Pimpinan Visi.
Seakan bernostalgia, pemateri memaparkan bagaimana mereka berjuang di LPM. Mulai cerita soal Riau Merdeka yang digagas aktivis pers kampus, intervensi penguasa kampus terhadap hasil liputan, sampai persoalan kader yang warna-warnni. Yang semua itu masih dialami pengurus sekarang.
Dialog berlansung. Semua persoalan diatas menyeruak. “Hari ini, yang akan membuat LPM mati bukan dana, bukan penguasa, tapi SDM kru yang kian lama kian merosot,” kata salah seorang anggota Fopersma. “Dengan kecanggihan teknologi sekarang, seharusnya kalian harus lebih maju dan giat memperbaiki SDM. Sumber bacaan sudah banyak, dapatkan informasi mudah, kalau merosot juga kadernya, itu namanya musibah,” kata Zulmizan, disambut gelak peserta diskusi.
Semua pemateri memberikan semangat pada peserta. “Kalau habis rapat kerja ini, tak ada perubahan, tak juga saling peduli persoalan LPM lain, dan tak ada gerakan berarti, tak usah saja adakan rapat kerja ini,” kata Zainul Ikhwan. “Gerakan itu beda dengan kegiatan, yang banyak dilakukan mahasiswa sekarang adalah kegiatan bukan gerakan mahasiswa.”
Semua peserta melihat, bahwa persoalan pengkaderan dan daya kritis aktivis LPM dalam berkarya selalu jadi beban yang harus selalu dijaga. Diskusi usai. Jam dinding ruangan tepat pukul 15.25. Sebelum usai, ruangan dihibur sejenak penampilan musikal dari murid Akademi Rakyat.
Akar sebuah sekolah bentukan sukarelawan yang peduli pada anak terlantar. Pendiri akar semuanya anak muda. Juga mahasiswa. Mereka beri pendidikan gratis. Karena masih kekurangan tenaga pengajar, materi yang diajar masih seputar seni.
Sesusai kesepakatan, sore hingga pukul 22.00 agendanya masak-memsak dan makan malam bersama. Keakraban masing-masing anggota Fopersma di sini momennya. Ada yang bakar ayam, bakar jagung, goreng bakwan, kerupuk, masak nasi, rebus sayur. Semua deh… Tak lupa bikin kopi, “Kan kita mau begadang.”
Pukul 21.20, makan bersama digelar di atas tikar. Semua berkumpul. Canda tawa lepas. “Kapan ya bisa seperti ini lagi,” terucap dari beberapa anggota Fopersma. Pukul 22.00. Pesta makan sederhana siap. Kembali duduk de ruangan. Membentuk lingkaran. Rapat kerja pembuatan roadmap Fopersma Riau 2011 siap dimulai. Aang dan Ari pimpin rapat kerja. Mekanisme rapat disepakati.
Pertama, pemaparan kondisi objektif masing-masing LPM oleh tiap Pimpinan Umum. Pertama akan disampaika Aida, Pimpinan Umum Visi. Kesepakatan diambil atas urutan nama Visi ABG. Usai penyampaian kondisi objektif, dilanjutkan penyusunan roadmap 2011. “Kita disini tak perlu ada yang ditutup tutup, disinilah forum kita mencari solusi bagi LPM kita,” kata Aang. “Silahkan dari Visi dulu,” lanjut Ari.
JARUM jam dinding tunjuk angka 09.30. Ruang rapat sekre Bahana sudah rame. Sekitar 30 anggota Fopersma telah hadir. Lainnya masih di perjalanan menuju Bahana. Tepat pukul 10.00, rapat akan dimulai.
Diskusi pagi itu, bertajuk Mendambakan Pers Kritis di Riau. Diskusi ini akan mengupas sejarah pers di Riau. Satu pertanyaan, apakah pernah ada pers kritis di Riau? Materi ini akan disampaikan Moeslim Roesli, tokoh pers di Riau.
Moeslim juga menulis buku MENEROBOS MITOS, Seabad Pers Riau (dari Raja Ali Kelana sampai Reformasi). Sayang, karena kesehatan, ia tak dapat hadir. “Maaf ya, saya harus berobat ke rumah sakit pagi ini,” kata Moeslim Roesli, lewat pesan singkatnya pada Aang Ananda Suherman (Bahana), koordinator Fopersma Riau.
Selain sejarah, kekritisan media lokal Riau hari ini menarik dikuliti. Fopersma mengundang Ilham Yasir, Ketua Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru.
Pukul 10.00 Ilham datang. Acara mulai pukul 10.05. Molor lima menit. Diskusi dipandu Aang. Ia mengulas sedikit sejarah pers di Riau. Dalam catatan moderator, mulai terbitnya Al Imam tahun 1906, hingga kini tak ada pers di Riau yang benar-benar kritis.
Pernah lahir Tabloid OBOR, Moeslim Roesli juga wartawannya saat itu. Menurut Moeslim beberapa waktu lalu, OBOR termasuk pers berani dan kritis di Riau. Namun atas tekanan TNI saat itu, OBOR juga memperbolehkan penguasa menyensor karya yang layak terbit atau tidak. “Apakah ini pers kritis,” kata Aang. “Jadi mungkinkah lahir pers kritis di Riau?” Aang mengakhiri pengantar sebelum Ilham menyampaikan materi.
“Saya mungkin tak banyak menyinggung soal sejarah pers di Riau, tapi lebih kepada kenapa pers di Riau hari ini tak ada yang kritis,” kata Ilham. Menurut Ilham, penyebabnya adalah konglomerasi media yang menjadi-jadi.
Jadi, kata Ilham, konglomerasi media sudah mengancam pilar keempat penengak demokrasi—pers—hari ini. Besarnya pengaruh, bahkan intervensi perusahaan terhadap redaksi terlalu kuat, kata Ilham. Ini menjadikan media bukan lagi berpihak pada kepentingan rakyat; mengungkap fakta sesungguhnya, sehingga rakyat bisa menentukan sikapnya dengan benar.
Pers di Riau, kata Ilham, akan kritis pada persoalan olahraga, hiburan dan ekonomi. “Pada ekonomipun bisa kritis, saat tak ada hubungan dengan intervensi politik.” Lihat perubahan grup Jawa Pos, termasuk Riau Pos, saat dahlan Iskan jadi Direktur Utama (Dirut) PLN, “Pasti akan melunak terhadap PLN.”
Persoalan dasarnya, kata Ilham, kenapa tak ada pers kritis di Riau, tak ada pendiri media di Riau yang lepas dari intervensi politik. “Tapi percayalah, secara individu kita masih bisa kritis. Masih ada ruang untuk melakukan itu.”
Jam menunjukan pukul 11.00. Acara berlanjut kesesi dialog. Sebelas anggota Fopersma bertanya berbagai macam hal. Mulai dari realita di lapangan kehidupan wartawan, sampai pada solusi konkrit terhadap tak adanya pers kritis di Riau.
“Jadi gimana ya, kita yang mengusung semangat idealis dari pers kampus, saat di luar dihadapkan pada kondisi pers begini, jadi kapan Riau punya media yang benar-benar kritis?”. Dalam diskusi itu, apa yang semua dambakan, tak ada yang bisa menjamin kapan bisa hadirnya pers kritis di Riau.
Satu jam berdialog. Diskusi usai. Kegiatan rehat satu setengah jam untuk istirahat, sholat dan makan siang.
Pukul 13.30, acara kembali digelar. Kali ini diskusi kedua bertajuk Visi ABG dulu, Fopersma Kini. Sekedar melihat bagaimana perjuangan aktivis pers mahasiswa di Riau dulu. Gimana mereka berjuang dengan segala kesulitan; mulai pengkaderan, tekanan penguasa, sampai soal dana. Hasil diskusi ini diharapkan bisa jadi motivasi pengurus LPM sekrang untuk tetap mempertahankan budaya krtis masing-masing LPM.
Sebelum diskusi dimulai, Ari Gunawan, sebagai moderator sampaikan soal berubahnya Visi ABG jadi Fopersma Riau. Visi ABG adalah perhimpunan, atau tempat empat LPM; Visi, Aklamasi, Bahana dan Gagasan, saling kritik soal kualitas terbitan, menyatukan ide dan gerakan. Pastinya, ini forum bersama; sakit satu, sakit semua. Tahun 2006 Visi ABG berubah jadi Fopersma. Alasannya sederhana, tak boleh arogan. Nantinya, pers mahasiswa akan lahir di Riau selain empat LPM ini. Digantilah namanya Fopersma Riau.
Diskusi siang itu menghadirkan mantan pengurus pengurus masing-masing LPM. Ada Zulmizan FA Assagaf, mantan Pimpinan Umum Bahana. Zainul Ikhwan, mantan Pimpinan Aklamasi. Navolino, mantan pengurus Aklamasi. Noprizal, mantan pengurus Gagasan. Dan Marlina, mantan Pimpinan Visi.
Seakan bernostalgia, pemateri memaparkan bagaimana mereka berjuang di LPM. Mulai cerita soal Riau Merdeka yang digagas aktivis pers kampus, intervensi penguasa kampus terhadap hasil liputan, sampai persoalan kader yang warna-warnni. Yang semua itu masih dialami pengurus sekarang.
Dialog berlansung. Semua persoalan diatas menyeruak. “Hari ini, yang akan membuat LPM mati bukan dana, bukan penguasa, tapi SDM kru yang kian lama kian merosot,” kata salah seorang anggota Fopersma. “Dengan kecanggihan teknologi sekarang, seharusnya kalian harus lebih maju dan giat memperbaiki SDM. Sumber bacaan sudah banyak, dapatkan informasi mudah, kalau merosot juga kadernya, itu namanya musibah,” kata Zulmizan, disambut gelak peserta diskusi.
Semua pemateri memberikan semangat pada peserta. “Kalau habis rapat kerja ini, tak ada perubahan, tak juga saling peduli persoalan LPM lain, dan tak ada gerakan berarti, tak usah saja adakan rapat kerja ini,” kata Zainul Ikhwan. “Gerakan itu beda dengan kegiatan, yang banyak dilakukan mahasiswa sekarang adalah kegiatan bukan gerakan mahasiswa.”
Semua peserta melihat, bahwa persoalan pengkaderan dan daya kritis aktivis LPM dalam berkarya selalu jadi beban yang harus selalu dijaga. Diskusi usai. Jam dinding ruangan tepat pukul 15.25. Sebelum usai, ruangan dihibur sejenak penampilan musikal dari murid Akademi Rakyat.
Akar sebuah sekolah bentukan sukarelawan yang peduli pada anak terlantar. Pendiri akar semuanya anak muda. Juga mahasiswa. Mereka beri pendidikan gratis. Karena masih kekurangan tenaga pengajar, materi yang diajar masih seputar seni.
Sesusai kesepakatan, sore hingga pukul 22.00 agendanya masak-memsak dan makan malam bersama. Keakraban masing-masing anggota Fopersma di sini momennya. Ada yang bakar ayam, bakar jagung, goreng bakwan, kerupuk, masak nasi, rebus sayur. Semua deh… Tak lupa bikin kopi, “Kan kita mau begadang.”
Pukul 21.20, makan bersama digelar di atas tikar. Semua berkumpul. Canda tawa lepas. “Kapan ya bisa seperti ini lagi,” terucap dari beberapa anggota Fopersma. Pukul 22.00. Pesta makan sederhana siap. Kembali duduk de ruangan. Membentuk lingkaran. Rapat kerja pembuatan roadmap Fopersma Riau 2011 siap dimulai. Aang dan Ari pimpin rapat kerja. Mekanisme rapat disepakati.
Pertama, pemaparan kondisi objektif masing-masing LPM oleh tiap Pimpinan Umum. Pertama akan disampaika Aida, Pimpinan Umum Visi. Kesepakatan diambil atas urutan nama Visi ABG. Usai penyampaian kondisi objektif, dilanjutkan penyusunan roadmap 2011. “Kita disini tak perlu ada yang ditutup tutup, disinilah forum kita mencari solusi bagi LPM kita,” kata Aang. “Silahkan dari Visi dulu,” lanjut Ari.
●●●
Aida menyampaikan beberapa persoalan. Selain Aida, beberapa kru Visi ikut menyampaikan permasalahan. Selanjutnya Yasin, PU Aklamasi, dan beberapa kru Aklamasi memaparkan juga menyampaikan kondisi ril yang dihadapi (lihat; Persoalan Ril LPM).
Persoalan Ril LPM:
LPM Visi Unilak;
1. Sumber daya kru kurang semangat
2. Kru mengalami kebosanan di LPM
3. Suasana sekre kurang nyaman
4. Penerbitan tidak menentu, peralatan keredaksian minim
5. Proses peliputan berita terlalu lama
6. Komunikasi tidak baik, mulai alumni, dan antar pengurus
7. Tidak ada absen harian di sekre
8. Rapat selalu molor
9. Sekre Visi beralih fungsi
10. Tidak mengetahui job description tiap jabatan
LPM Aklamasi;
1. Kurangnya SDM yang mengerti, paham, dan menjalankan tugas yang telah diberikan
2. Job description keredaksian tidak berjalan
3. Sedang ada resufle kepengurusan, sekarang pengurus inti hanya dua orang
4. Ada indikasi sekre akan dipindahkan
5. Sulitnya keuangan saat akan cetak
6. Belum adanya formulasi pengkaderan yang pas
7. Kurangnya forum diskusi ilmiah
LPM Bahana Mahasiswa Unri;
1. Kru malas membaca
2. Dana masih bermasalah
3. Bahana belum jadi corong bagi masyarakat di Riau
4. Belum melaksanakan ciri-ciri kemelayuan dalam hasil keredaksian
5. Banyak kru yang masih berfikir bias
6. Manajemen waktu yang masih susah antara kuliah dan organisasi
7. Tidak patuh deadline LPM Gagasan UIN Suska;
1. Kemunduran kader, terutama perempuan masih malas untuk berdiskusi
2. Kru yang aktif hanya tujuh orang, yang benar-benar berjuang di Gagasan
3. Kru sering mengulur waktu
4. Keredaksian tidak berjalan, dari reporter lansung ke pimpinan redaksi
5. Susahnya menyuruh reporter mengkaji sebuah liputan
6. Fasilitas redaksi masih kurang
7. Tanggung jawab tugas tanpa ada evaluasi tulisan
8. Kenyamanan sesama kru kadang kurang
9. Iklim universitas yang tidak pro organisasi
Sesuai urutan, harusnya PU Bahana, Made Ali, sampaikan persoalan. Karena sedang di luar ruangan, Ryan, PU Gagasan sampaikan kondisi ril LPM nya. “Di Gagasan ada wartawan pulang kampong dan wartawan insyallah,” kata Ryan, semua peserta ketawa. “Pas ditanya tugas kebanyakan alasannya pulang kampung dan insyallah, tapi tak pernah selesai.”
Baru terakhirnya Made. Ia memulai pemaparan dengan kata, “Untuk siapa kita ada, kemana arah perjuangan kita?” Forum diam. “Kita harus dudukan ini dulu. Hingga kita tak bias dalam berkarya,” kata Made. Usai pemaparan Made, berseliweran pandangan tentang kondisi objektif yang dihadapi LPM.
Semua persoalan dicurahkan. Tanpa batas. Gelak tawa berderai melihat kompleknya persoalan yang dihadapi. Kata semangat selalu muncul. “Pers mahasiswa mati, matilah gerakan mahasiswa di sebuah kampus.”
Jam sudah pukul 12.00. Jagung, bakwan, dan kue bunga loyang, yang dimasak tadi sore setia menemani rapat malam itu. Kopi dan rokok tentu juga menemani penikmatnya. “Gimana kita break sejenak. Ada yang mau memberikan suara merdunya?” Tawar Aang. Melba (Gagasan) dan Amrel (Gagasan) melantunkan dua buah lagu karya Iwan Fals; Kawanku Punya Kawan, dan Asik gak Asik. Lumayan, kantuk sedikit mengurang.
Rapat kembali ke forum. Hidangan mulai habis. “Permasalahan sudah banyak kita kemukakan, saatnya kita cari formula untuk semua ini,” tawar Puput. “Gimana,” Tanya Ari. “Sepakat.” Hampir semua peserta tawarkan solusi. Akhirnya disepakati sembilan poin mengatasi permasalahan (lihat; Solusi Buat LPM).
Baru terakhirnya Made. Ia memulai pemaparan dengan kata, “Untuk siapa kita ada, kemana arah perjuangan kita?” Forum diam. “Kita harus dudukan ini dulu. Hingga kita tak bias dalam berkarya,” kata Made. Usai pemaparan Made, berseliweran pandangan tentang kondisi objektif yang dihadapi LPM.
Semua persoalan dicurahkan. Tanpa batas. Gelak tawa berderai melihat kompleknya persoalan yang dihadapi. Kata semangat selalu muncul. “Pers mahasiswa mati, matilah gerakan mahasiswa di sebuah kampus.”
Jam sudah pukul 12.00. Jagung, bakwan, dan kue bunga loyang, yang dimasak tadi sore setia menemani rapat malam itu. Kopi dan rokok tentu juga menemani penikmatnya. “Gimana kita break sejenak. Ada yang mau memberikan suara merdunya?” Tawar Aang. Melba (Gagasan) dan Amrel (Gagasan) melantunkan dua buah lagu karya Iwan Fals; Kawanku Punya Kawan, dan Asik gak Asik. Lumayan, kantuk sedikit mengurang.
Rapat kembali ke forum. Hidangan mulai habis. “Permasalahan sudah banyak kita kemukakan, saatnya kita cari formula untuk semua ini,” tawar Puput. “Gimana,” Tanya Ari. “Sepakat.” Hampir semua peserta tawarkan solusi. Akhirnya disepakati sembilan poin mengatasi permasalahan (lihat; Solusi Buat LPM).
Solusi Buat LPM:
1. Harus bisa berwirausaha
2. Kontrak kader
3. Pelatihan dan kerjasama dengan pihak lain
4. Forum diskusi ilmiah harus intens digelar
5. Sedia koran atau buku wajib di sekre
6. Perbanyak acara non formal
7. Melakukan pendekatan dengan alumni
8. Pengembangan spesialisasi
9. Terapkan sistem reward dan punishmen
Semua sepakat. Sembilan poin solusi bisa diterapkan di tiap LPM. Semata-mata untuk mengatasi persoalan LPM. “Ternyata persoalan kita sama,” kata Made.
Berangkat dari persoalan, solusi pun didapat. Lalu, pembuatan roadmap sesi berikutnya. Malam itu, rapat memutuskan ada dua bagian besar roadmap yang akan disusun. Ada rutin dan ada yang santai (lihat; Roadmap Fopersma 2011).
Berangkat dari persoalan, solusi pun didapat. Lalu, pembuatan roadmap sesi berikutnya. Malam itu, rapat memutuskan ada dua bagian besar roadmap yang akan disusun. Ada rutin dan ada yang santai (lihat; Roadmap Fopersma 2011).
Roadmap Fopersma 2011
Program Rutin Program Santai
1. Evaluasi penerbitan serta diskusi jurnalistik
2. Diskusi bulanan Fopersma
3. Tiap LPM gelar pelatihan jurnalistik tingkat lanjut secara berkala
4. Upayakan buku wajib untuk Fopersma
5. Kerjasama dengan pihak luar
6. Tiap LPM memunculkan rubrik khusus kemelayuan
7. Penerbitan media Fopersma untuk memperjuangkan amanah reformasi
1. Pembuatan Mars Fopersma
2. Camping
3. Roadshow ke pers mahasiswa se Sumatera-Jawa
4. Makan bersama
5. Pekan Olahraga Fopersma (POF)
6. Kunjungan ke media-media
7. Pembuatan almamater Fopersma
Semua gembira. Peta jalan untuk Fopersma sudah terbentuk. Semua berharap semua bisa terwujud. Terbitnya media Fopersma akan jadi cikal bakal lahirnya pers kritis di Riau. Sebelum rapat ditutup ada tawaran bikin deklarasi fopersma Riau. “Ini adalah ruh perjuangan kita. Ini jadi prinsip kita.” Semua sepakat. Debat kembali terjadi. Pemikiran kembali dikuras untuk merumuskan poin-poin deklarasi. Malam terus berlalu. Setengah jam poin deklarasi dapat kata sepakat (lihat; Deklarasi Fopersma Riau).
Deklarasi Fopersma Riau
Menolak amplop beserta isinya
Menuntaskan agenda reformasi
Menegakkan demokrasi
Menjadi insan pers sesungguhnya
Semua berdiri. Resti (Visi) didaulat membacakan deklarasi dan diikuti seluruh peserta rapat. Semua semangat. Semua ketawa dan semua tepuk tangan. Sembilan elemen jurnalisme akan selalu jadi acuan. Kami sangat rindu media kritis di Riau.
Sekretariat LPM Bahana Mahasiswa, 25-26 Desember 2010
Kegiatan mulai pukul 10.05 usai pukul 02.52
Aang Ananda Suherman
Koordinator Fopersma Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar